Kamis, 02 Mei 2013

Tjahyono: Kasus Adelin Lis, karikatur dari kejahatan korporasi di hutan



Setyo Rahardjo
Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita yang selama ini mengamati dan pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu, sebenarnya dalam kontek tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya “karikatur” yang muncul sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang dibebaskan juga.
Demikian disampaikan oleh Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro Tjahyono, dalam suatu dialog bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang diadakan di Mario’s Place Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).
Menurutnya, makna karikatur ini menunjukkan bahwa pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity) untuk dituntut. Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk menjaring pencuri-pencuri kayu ini sehingga bisa dituntut dan dijebloskan ke penjara.
"Ada sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur” dari satu kejahatan korporasi (corporate crime). Jadi mereka mengikutkan juga elemen politik (orang-orang politik), elemen kekuatan senjata (TNI – Polri), elemen lembaga peradilan. Jadi ada mafia peradilan yang sebenarnya bersekongkol untuk mempertahankan pencurian-pencurian kayu, karena dia memang instrumen dari pencuri kayu itu sendiri," ujarnya.
Ia kemudian memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di Jawa seperti yang terjadi di Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan bahwa mafia pencuri kayu jati itu bahkan punya jaringan sampai pengadilan. Jadi promosi hakim, promosi jaksa di pengadilan negeri itu dikuasai mereka. Sehingga jaksa yang berusaha menuntut berat pencuri kayu itu bisa dipindah.
Dalam kaitannya dengan kasus bebasnya Adelin Lis ini, Tjahyono ingin membuktikan pernyataannya bahwa memang mafia peradilan ini lebih memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis dibebaskan, hakim yang membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya merupakan rekayasa birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu hakim juga langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat hakimnya jadi buyar," katanya.
Dengan demikian menurutnya, pengadilan sudah dikuasai oleh pencuri kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi ke semua. Begitu pun banyak pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaganya mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan hingga ke penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang banyak, sampai 25 persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada 0,1 persen dan hasilnya bebas.
"Inikan quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya akan kembali bahwa masalahnya bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya adalah hukum sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur apa," tegasnya setengah bertanya.
Dari sinilah dapat dijumpai ada tidaknya faktor kemauan politik (political will). Baik dari pemerintah atau masyarakat, untuk memberantas pencuri kayu dan menciptakan hukum yang memang bisa menangkal berbagai pencurian kayu.
Hukum di negeri ini sedang dicoba diciptakan untuk membiarkan pencuri kayu antara lain dengan adanya dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi administratif itu mempunyai keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota lembaga apa pun telah membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana. Ini harus ada batasannya.
"Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba memberi perbedaan yang jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang terjadi ya seperti sekarang ini," katanya.
Sementara itu Departemen Kehutanan merasa bahwa semua pelanggaran HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa didenda, padahal bisnis denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok. Bahkan diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri kayu. 
Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0009&ikey=1

Rabu, 01 Mei 2013

Dengan Insentif dan Libatkan Masyarakat Desa, Program Tanam 1 Milyar Pohon 2010 Cukup Baik


Ani Purwati - 18 Jun 2010
Program penanaman 1 milyar pohon pada 2010 yang dicanangkan Presiden Desember 2009 lalu cukup baik untuk mengatasi kerusakan atau degradasi lahan dan hutan jika melibatkan masyarakat pedesaan dan dengan sistem insentif. Bukan sekedar saat menanam, tapi masyarakat diberi tugas untuk merawat hingga tanaman tetap tumbuh dengan baik hingga tingkat keberhasilan hidup tinggi. 
“Untuk mencapai hal demikian sebaiknya ada sistem insentif (jangka panjang sekitar 5 tahun) yang diberikan dengan pengawasan oleh masyarakat sipil seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),”  Demikian menurut I. Nyoman Suryadiputra sebagai Direktur Wetlands Indonesia melalui pesannya pada beritabumi.or.id (18/6).
Dijelaskan Nyoman, jika penanaman melibatkan kontraktor sebaiknya mereka harus diikat dengan perjanjian, bukan sekedar tanam tapi kewajiban merawat, pembayaran kepada kontraktor sebaiknya berdasarkan keberhasilan hidup (bukan jumlah bibit yang ditanam).  Lakukan pembayaran secara bertahap.
Pemilihan lokasi dan jenis tanaman harus tepat.  Jika menginginkan tanaman yang cepat tumbuh, tapi punya nilai penting dari sisi ekonomis maupun ekologis hal demikian perlu suatu kajian oleh para pakar. Contoh: cemara laut (Cassuarina ) cepat tumbuhnya (8 meter dalam 4 tahun) dan cocok ditanam di tepi pantai dengan substrat pasir. Tanaman ini mempunyai nilai ekonomis penting sebagai bahan baku kertas. Pohon jelutung (Dyera spp) dapat tumbuh baik pada lahan gambut yang sudah rusak, dapat  tumbuh dengan cepat, mempunyai nilai ekonomis dan lingkungan yang penting .
Untuk menanggulangi dan mencegah degradasi lahan lebih lanjut, menurut Nyoman, langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah dan semua elemen masyarakat adalah untuk lahan gambut: jangan membuka lahan gambut, jika sudah terlanjur terbuka hindari drainase yang berlebihan (tutup saluran-saluran drainase yang terdapat di lahan gambut). Jangan menggunakan api di lahan gambut, karena jika terbakar sulit diatasi dan cepat merambat ke lokasi lain (juga mengemisikan karbon dioksida dalam jumlah besar.  Moratorium gambut yang dicanangkan pemerintah baru-baru ini, harus didukung semua pihak (swasta, LSM, instansi pemerintah di daerah dan pusat) dan jangka waktu moratorium sebaiknya bukan dua tahun tapi hingga ada kajian lebih lanjut tentang pemulihannya.
Sedangkan untuk menanggulangi degradasi lahan di kawasan mangrove, langkah yang perlu ditempuh adalah segera menetapkan kebijakan (dan tegakkan aturannya) tentang lebarnya sabuk hijau (green belt), segera rehabilitasi wilayah pesisir yang mangrovenya sudah rusak (misal melalui penanaman), batasi pembangunan di wilayah pesisir (terutama yang membongkar hutan mangrove) karena jika terjadi kenaikan air laut akibat perubahan iklim, mangrove yang sehat dapat berperan sebagai benteng daratan dan mendukung berbagai kepentingan/infrastruktur lain di darat.
Lalu adakan kampanye besar-besaran tentang fungsi hutan mangrove dan gambut dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap adanya perubahan iklim global.
Dalam sambutannya saat peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan 17 Juni  2010, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan mengatakan bahwa untuk memperbaiki kerusakan hutan dan lahan yang terdegradasi, perlu terus dilakukan upaya penerapan teknik konservasi hutan, tanah, dan air dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Selain itu lahan harus digunakan sesuai peruntukkannya, dan tidak boleh melebihi daya dukungnya.
 
Saat ini pemerintah sedang mengajak masyarakat untuk gemar menanam pohon, melalui gerakan Indonesia Menanam Satu Milyar Pohon Untuk Dunia atau One Billion Indonesian Trees. Presiden RI pada acara pencanangan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional, pada bulan Desember 2009, di Padalarang, telah mencanangkan Gerakan menanam 1 Milyar Pohon Untuk Dunia tahun 2010.
 
Kegiatan ini selain untuk lebih meningkatkan kepedulian berbagai pihak akan pentingnya penanaman dan pemeliharaan pohon, juga merupakan bagian dari upaya mencegah atau mengurangi pemanasan global, dan perubahan iklim dengan memperbanyak penyerap karbon.

Penyebab Degradasi
 
Pada umumnya menurut Nyoman, degradasi lahan di Indonesia disebabkan oleh salah kelola, konversi lahan, dan perubahan iklim. Salah kelola misalkan lahan gambut yang didrainase airnya, menyebabkan gambut kering dan mudah terbakar (tanpa terbakarpun jika gambut didrainase airnya akan rusak, amblas/subside dan teroksidasi melepaskan gas CO2). Total lahan gambut di Indonesia sekitar 21 juta ha dengan kondisi rusak sekitar 30-40%.
Degradasi lahan juga disebabkan oleh konversi lahan. Misal mangrove ditebang, dijadikan tambak atau keperluan lain. Hal ini akan menyebabkan inrusi air laut ke darat, abrasi/erosi, hilangnya habitat berbagai satwa perairan (termasuk ikan dan udang) juga satwa lain (seperti burung).   Mangrove yang rusak di Indonesia diduga sekitar 5 juta ha, yang relatif masih baik diduga 3,4 juta ha.
Penyebab degradasi lahan lainnya adalah perubahan Iklim. Perubahan iklim akan berpengaruh terhadap kerusakan lahan (terutama di lahan gambut). Suhu udara yang semakin meningkat, akan semakin mempeluas gambut yang terbakar.
Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0291&ikey=1

Deforestasi Tingkatkan Bencana dan Kurangi Sumber Daya Alam Indonesia



Ani Purwati - 13 Jul 2010

Menurut Greenpeace, sebagai tempat tinggal dari 10 persen hutan hujan tropis dunia, Indonesia mengalami percepatan pengurangan hutan lebih cepat dari negara lain, hilangnya mencapai  51 sqkm tiap hari. Indonesia sekarang sebagai emitor gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, sebagian besar akibat dari deforestasi dan degradasi, dan Jambi telah kehilangan dua pertiga dari hutan perawan tersebut. Penggundulan hutan juga sudah menyumbang pada peningkatan bencana alam skala kecil.

"Banjir telah menjadi kebiasaan di sekitar Merangin dalam lima tahun terakhir," kata Aidil Putra, Ketua Kesatuan Petani Jambi, seperti dikutib dalam IRIN Asia, humanitarian news and analysis, 1 Juli 2010.

"Air semakin tinggi juga. Banyak rumah kami telah rusak. Kita sendiri yang harus membangunnya   kembali padahal sulit karena semua kayu yang baik telah diambil, " lanjutnya.

Mengurangi deforestasi sangat penting untuk mencegah bencana skala kecil, seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan.
 
"Hutan memainkan peran penting dalam mengurangi bencana ini karena mereka dapat meningkatkan resapan air," kata Bruno Locatelli, pemimpin untuk adaptasi perubahan iklim di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional di Indonesia. "Itu berarti ketika ada hujan deras, tanah hutan dapat menyerap air bawah tanah dan menyalurkan ke sungai. Hal ini juga sangat penting untuk mencegah kekeringan selama musim kemarau. "

Intensitas banjir, tanah longsor dan kekeringan di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

 "Karena perubahan iklim, kemungkinan besar curah hujan lebih berat, dan hanya akan menimbulkan banjir dan tanah longsor jika hutan terus dibersihkan," kata Locatelli.


Banjir dan tanah longsor menyebabkan lebih dari 3.500 kematian dan evakuasi empat juta orang antara tahun 2000 dan 2009.

Deforestasi  telah mengurangi jumlah sumber daya alam yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat seputar hutan. Wisnawati, penduduk di Jambi, mendapatkan penghasilan 3,25 juta rupiah per bulan melalui penyadapan pohon karet, tapi sekarang, setelah deforestasi merajalela selama bertahun-tahun, dia beralih menanam beras dan kopi. Dia pun merasa beruntung bisa membawa setengahnya setiap bulan.
 
"Untuk memenuhi semua kebutuhan kami memerlukan hutan - kayu untuk rumah kita, dan makanan untuk sehari-hari. Kita tidak bisa melakukan itu lagi karena sudah tidak cukup, "kata Wisnawati, 35, yang memiliki sebuah peternakan kecil di Lubuk Birah, sebuah desa sekitar 350 orang di Muara Siau, Jambi, Indonesia.
 
Untuk kebutuhannya, penduduk desa telah mengekstrak dan menjual madu dan minyak tanaman nilam – yang digunakan sebagai minyak goreng dan membuat kosmetik. Tetapi sebagian besar harus mencari sumber pendapatan sekunder karena sumber daya yang mulai menipis, hasil dari 20 tahun konsesi penebangan selektif yang dimiliki oleh sebuah perusahaan kayu Indonesia pada 490 sqkm hutan Kabupaten Merangin sekitar desa.

Petani mengatakan bahwa binatang dipaksa keluar dari habitat alaminya oleh deforestasi yang mendatangkan malapetaka di desa. "Ada ribuan babi di sekitar sekarang. Mereka merusak tanaman kami, "kata Dahlan, seorang petani 52 tahun.
 
 
Tahun lalu, 13 orang di Merangin telah diserang sampai mati oleh harimau yang habitanya telah dihancurkan, kata Arif Munandar, Direktur  Friends of the Earth Indonesia (Walhi) Jambi.
 
Langkah ke arah yang benar
 
Bulan lalu di Oslo, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan menghentikan konsesi baru pada lahan gambut dan hutan hujan Indonesia selama dua tahun. Sebagai gantinya, Norwegia akan memberikan Indonesia 1 miliar, yang bisa diklaim sebagai karbon offset.

Tapi aktivis mengatakan ini tidak cukup dan kegiatan komersial yang ada di hutan harus dipindahkan ke lahan rusak.
 
"Ada begitu banyak konsesi yang ada di Jambi yang jika operasinya terus menerus akan menghilangkan  hampir semua hutan," kata Munandar dari Walhi.


Penundaan ijin ini meruSpakan bagian dari janji Presiden untuk mengurangi emisi karbon sebesar 41 persen pada tahun 2020.
 
"Selama kami bisa menggunakan hutan kita secara lestari, kami berharap pemerintah melindungi hutan kami dari perusahaan untuk selamanya, sehingga anak-anak dan cucu kami dapat terus hidup dengan cara kita untuk generasi selanjutnya," kata Wisnawati.

 

Hasil Kajian: Pembalakan Liar Turun Tapi Masih Jadi Masalah Besar di Negara-Negara Hutan Tropis


Ani Purwati - 21 Jul 2010
Kajian saat ini tentang perlawanan global terhadap pembalakan atau penebangan liar (illegal logging) yang telah dikeluarkan oleh Chatham House pada 15 Juli 2010, menemukan bahwa dalam satu dekade, upaya internasional untuk mengatasi masalah ini memiliki efek dramatis dan menguntungkan bagi komunitas yang bergantung pada hutan dan pada iklim global. Menurut laporan itu, "Illegal Logging dan Perdagangan Terkait: Indikator Respon Global", produksi total kayu ilegal global telah menurun 22 persen sejak tahun 2002. Meski demikian pembalakan liar masih menjadi masalah besar yang mengancam di negara-negara hutan
"Ada satu milyar orang termiskin di dunia bergantung pada hutan, dan pengurangan pembalakan liar dapat membantu melindungi mata pencaharian mereka", kata Sam Lawson, Chatham House Associate Fellow dan penulis utama laporan tersebut.
Laporan itu menyatakan bahwa pembalakan liar telah menurun 50 persen di Kamerun,  antara 50 hingga 75 persen di Amazon Brasil, dan 75 persen di Indonesia dalam dekade terakhir. Penurunan ini yang didokumentasikan dalam tiga dari lima produsen kayu tropis terpantau, telah mencegah degradasi sampai 17 juta hektar hutan, wilayah yang lebih besar dari gabungan Inggris dan Wales.
Dengan mencegah degradasi hutan yang seringkali menjadi sebab utama menuju kerusakan hutan, upaya untuk menanggulangi illegal logging di tiga negara tersebut dapat lebih membantu mencegah lepasnya hingga 14,6 miliar ton karbon dioksida - yang setara dengan separuh karbon dioksida yang dikeluarkan oleh aktifitas manusia di seluruh dunia setiap tahunnya dengan biaya yang relatif rendah. Sebaliknya, jika kayu yang dipanen di bawah naungan pemerintah sekitar 6,5 milyar dolar bisa dikembangkan di negara-negara ini saja, lebih dari dua kali bantuan luar negeri yang dihabiskan dunia setiap tahun untuk pendidikan sekolah dasar.
Laporan baru ini meliputi semua aspek perdagangan kayu, mulai perjalanan kayu dari hutan di lima negara produsen terpantau: Brazil, Indonesia, Kamerun, Malaysia dan Ghana. Kemudian studi menganalisa masuknya kayu ke pasar lima negara konsumen: Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis dan Belanda, seperti melalui pelabuhan dan pabrik dari dua "pengolahan" negara Cina dan Vietnam dan dari sana ke pembeli di dunia industri.
Masih Jadi Masalah Besar
Meskipun penurunan dramatis, laporan ini mengatakan bahwa illegal logging masih menjadi masalah besar. Sebagai contoh jelasnya, kegiatan sektor hutan ilegal, kurang bisa terdeteksi, dan karena itu lebih keras, praktik ilegal menjadi lebih signifikan. Sebagai contoh, perusahaan yang memiliki ijin penebangan legal mungkin menebang di luar wilayah yang diizinkan. Lisensi hutan yang jelas untuk perkebunan dan pertanian juga sering dikeluarkan secara ilegal.
Pada tahun 2008, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Perancis dan Belanda membeli 17 juta meter kubik kayu ilegal dan produk kayu bernilai sekitar AS 8,4 miliar, sebagian besar masuk ke negara-negara itu dalam bentuk produk olahan seperti kayu lapis dan perabotan, terutama dari China. Pada tahun 2009, total 100 juta meter kubik kayu ilegal dipanen di negara-negara penghasil kayu terpantau.
"Jika meletakkan ujung ke ujung kayu ilegal akan mengelilingi dunia lebih dari sepuluh kali lebih," menurut Larry MacFaul, salah satu penulis laporan itu.

Meskipun pelaksanaan peraturan dan kebijakan yang diperlukan di negara-negara produsen masih  miskin, sejumlah kemajuan yang signifikan dalam undang-undang dan peraturan saat ini tengah dilakukan sebagai hasil dari negosiasi Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan Uni Eropa.
Perjanjian tersebut telah terbukti efektif, menurut laporan itu. Selanjutnya, pada tahun 2008, AS menjadi negara pertama yang memperkenalkan legislasi untuk untuk menangani kayu ilegal. Ada indikasi awal bahwa hukum yang baru sudah menempatkan tekanan pada produsen kayu dan prosesor di seluruh dunia untuk mengawasi rantai pasokan mereka.
"Upaya untuk memerangi pembalakan liar dan meningkatkan tata kelola hutan telah membawa negara maju dan berkembang bersama-sama dengan cara yang unik dan bersama dalam tujuan,” kata Lawson. "Studi kami menunjukkan bahwa keterlibatan dan tekanan konsumen yang dikombinasikan dengan aksi oleh negara-negara produsen dapat menghasilkan hasil yang sangat positif.

IUCN Sambut 2011 sebagai Tahun Hutan Internasional


Disarikan Ani Purwati - 12 Jan 2011
Lembaga Konservasi Alam Dunia, Union for Conservation of Nature (IUCN) menyambut tahun 2011 sebagai Tahun Hutan Internasional. Sepanjang 2011, IUCN akan bekerja untuk memastikan bahwa hutan memberikan potensi maksimalnya untuk kesejahteraan manusia dan konservasi keanekaragaman hayati.
Hutan di dunia sangat penting bagi kehidupan dengan segala keragaman dan untuk mencapai tujuan kemanusiaan terbesar seperti mengurangi kemiskinan, membatasi perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan.
Secara formal IUCN bersama lembaga dunia di bidang hutan dan keanekaragaman hayati lainnya akan meluncurkan Tahun Hutan 2011 dalam pertemuan Forum Hutan PBB (UN Forum on Forests - UNFF) di New York, 24 Januari 2011.
“Tahun Hutan 2011' akan menjadi perayaan di tingkat internasional berbagai peran sentral masyarakat dalam konservasi, pengelolaan dan pembangunan berkelanjutan hutan dunia kita," ujar Julia Marton-Lefevre, Direktur Jenderal IUCN dalam siaran pers 3 Januari 2011.
"Udara yang kita hirup, makanan, air dan obat-obatan yang kitabutuhkan untuk bertahan hidup, berbagai kehidupan di bumi, iklim yangmembentuk kita sekarang dan masa depan, semuanya tergantung pada hutan. 2011 harus menjadi tahun ketika dunia mengakui betapa pentingnya hutan yang sehat untuk hidup di bumi, untuk semua orang dan keanekaragaman hayati," lanjutnya.
Sebagai anggota Collaborative Partnership on Forests, IUCN akan memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap sentralitas dari hutan dunia untuk kesejahteraan manusia dan alam. Selama tahun 2011, IUCN akan menyoroti temuan baru dari inovasi Strategi Lanskap dan Penghidupan, mengumumkan inisiatif baru yang berani dalam kerja restorasi lanskap hutan dan mengembangkan agenda Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD-plus) 2010 yang telah ada secara internasional.

Tahun Hutan 2011 muncul setelah Tahun Internasional Keanekaragaman Hayati 2010, yang memuncak dalam rencana global untuk menyelamatkan dan memulihkan alam serta sebagai titik balik dalam negosiasi iklim internasional pada konferensi iklim Cancun Desember lalu.
Setelah meninggalkan 2010, Tahun Hutan 2011 lebih meningkatkan kesadaran internasional tentang peran ekosistem yang sehat dalam memerangi perubahan iklim dan mengembalikan hilangnya keanekaragaman hayati.
 
Sebagai rumah bagi 80% dari keanekaragaman hayati dunia dan 300 juta orang, hutan menyediakan mata pencaharian bagi 1,6 milyar orang, hampir seperempat kemanusiaan.

Hutan meliputi 31% dari total lahan dan menyimpan karbon lebih dari jumlah saat ini di atmosfer bumi. Mereka menawarkan
cara tercepat, efektif dan paling terbesar untuk membatasi emisi global. Pengurangan separuh emisi ini antara tahun 2010 dan 2020 akan menghemat sekitar US 3,7 triliun.
Semua fakta ini dan lebih banyak lagi menunjukkan betapa pentingnya hutan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan. Tahun Internasional Hutan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat ganda dari hutan yang sehat dan cara untuk membuat mereka berdiri dan sehat.

Sumber: http://www.iucn.org/about/work/programmes/forest/fp_our_work/fp_our_work_thematic/redd/?6739/International-Year-of-Forests

Rencana Konservasi Hutan Indonesia, Terancam Gagal Kurangi Emisi


Ani Purwati - 03 Sep 2010
Sepertiga dari emisi gas rumah kaca Indonesia dari deforestasi berasal dari kawasan yang tidak resmi didefinisikan sebagai "hutan", sehingga upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD +) tearancam gagal kecuali perhitungan mereka untuk karbon di seluruh lansekap negara itu. Demikian terungkap dalam sebuah laporan baru yang diterbitkan oleh World Agroforestry Centre.
Laporan briefing kebijakan itu menemukan bahwa hingga 600 juta ton emisi karbon hutan Indonesia "terjadi di luar kawasan yang didefinisikan sebagai hutan," karena itu tidak terhitung berdasarkan kebijakan nasional  REDD+ saat ini, yang jika diterapkan, akan memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan kompensasi dari negara-negara industri untuk melindungi karbon yang padat  di hutan dan lahan gambut sebagai mekanisme perubahan iklim.
Sementara REDD + dipandang sebagai cara yang menjanjikan untuk mendanai konservasi hutan, sedangkan secara bersamaan terjadi perlambatan perubahan iklim dan menghasilkan peluang untuk pembangunan berkelanjutan. Namun REDD + di Indonesia masih mengalami kerancuan tentang apa yang disebut "hutan." Sektor kehutanan tertarik untuk mengklasifikasikan perkebunan sebagai hutan, yang akan bisa menghasilkan biaya karbon subsidi konversi "kerusakan" hutan dan lahan berkayu - beberapa di antaranya mungkin menyimpan sejumlah besar karbon - termasuk industri kayu dan perkebunan kelapa sawit.
Laporan CGIAR menyoroti risiko ini, bahwa cadangan karbon di luar kawasan hutan dapat habis pada 2032 jika kecenderungan ini terus berlangsung. Dikatakan "kebocoran", atau pengalihan deforestasi dari daerah yang dilindungi dari eksploitasi, akan menjadi penggerak utama dari emisi.

"Jika emisi karbon dari luar kawasan hutan terhitung, akan menjadi jelas bahwa tidak ada pengurangan emisi bersih di Indonesia," ungkap laporan ini.

Untuk menghindari hasil ini dan menghentikan perdebatan atas definisi hutan, laporan CGIAR mengusulkan sistem perhitungan karbon yang lebih komprehensif, yang dijuluki "Pengurangan Emisi dari Semua Penggunaan Tanah" (Reducing Emissions from All Land Uses - REALU) (http://www.asb.cgiar.org/pdfwebdocs/ASBPB13.pdf).

"REALU dapat lebih efektif mengurangi emisi bersih, dan lebih menjamin kegiatan pengurangan lokal yang sesuai," ungkap laporan CGIAR. "Pendekatan REALU dapat mengatasi ketidakjelasan definisi hutan dan membantu menangkap kebocoran emisi antar sektor."
Laporan ini berpendapat bahwa pendekatan yang lebih holistik akan lebih baik menghitung karbon yang tersimpan dalam tanah serta emisi dari pertanian. Di sini menyimpulkan dengan mencatat bahwa hasil sementara masih awal, perlu memikirkan kembali " desain kebijakan REDD + agar lebih bijaksana.

"Desain REDD + di Indonesia (dan kondisi serupa di tempat lain) mungkin memerlukan pemikiran ulang yang serius," tulis penulis laporan. "Di sini juga dapat membawa desain REDD + internasional kembali, terutama dalam pendapat yang terang untuk sebuah pendekatan yang komprehensif untuk pengurangan emisi dari pertanian."
 

Terancam Hilang, Mangrove Perlu Pengelolaan Serius

Ani Purwati
 
Mangrove mempunyai berbagai nilai dan manfaat bagi kehidupan dan lingkungan, tapi di sisi lain keberadaannya terancam oleh berbagai kegiatan manusia. Maka sudah selayaknya ekosistem ini mendapat perhatian serius dalam pengelolaan agar kerusakannya tidak semakin parah dan hilang.
“Pelaksanaan program nasional seperti pengelolaan ekosisitem mangrove harus menjadi suatu prioritas yang penting dan wajib melibatkan peran masyarakat luas termasuk swasta dan pemerintahan,” kata I. Nyoman Suryadiputra sebagai Direktur Wetlands Indonesia kepada beritabumi.or.id (28/9) menanggapi kondisi mangrove sebagai habitat penting bagi kehidupan di sekitarnya di Hari Habitat 4 Oktober ini.
Berbagai upaya pengelolaan habitat penting bagi flora fauna di dalamnya ini tidak hanya untuk memenuhi peningkatan target luas tutupan, mengurangi konversi kawasan mangrove tapi juga untuk mengatasi adanya dampak serius  yang telah dan akan timbul akibat perubahan iklim (seperti hancurnya sarana prasarana publik). 

Selama ini Wetlands Indonesia juga telah melakukan berbagai program pengelolaan. Di antaranya Program Kompetisi Pesisir di Indonesia 2000-2003 yang diikuti 26 LSM, berkaitan dengan penanaman mangrove di berbagai lokasi Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT. Program Rehabilitasi Pesisir di Pemalang Jawa Tengah pada 1999 sampai dengan saat ini yang melibatkan sekitar 5 KSM dan 500,000 mangrove telah ditanam). Program Rehabilitasi Pasca Tsunami di Aceh & Nias pada 2005 – 2009 yang melibatkan sekitar 70 KSM dan LSM. Ada sekitar 2 juta mangrove dan tanaman pantai telah ditanam.
Program Offset Carbon di Serang, Teluk Banten pada 2009 – 2023 yang melibatkan 10 KK petambak miskin lahan. Ada sekitar 70.000 mangrove telah ditanam dan akan diteruskan hingga 2023. Program Penanggulangan Risiko Bencana /DRR di Sikka, NTT pada 2010-2011. Ada sekitar 100,000 mangrove tengah diproses untuk ditanam oleh kelompok masyarakat di Desa Rororeja dan Nangahale.
Menurut Data Wetlands Indonesia, luas hutan mangrove Indonesia ada beberapa sumber yang menyebutkan berbeda. Kementerian Kehutanan (2009) melaporkan, Indonesia memiliki 9,36 juta hektar (ha) hutan bakau (mangrove), tapi menurut World Atlas of Mangrove (2010), Indonesia memiliki hutan mangrove hanya 3,19 juta ha atau 20.9% dari total mangrove dunia. Dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km dan memiliki lebih dari 17.000 pulau, Indonesia dianugerahi dengan berbagai jenis ekosistem  lahan basah pesisir (di antaranya ekosistem lamun, terumbu karang, mangrove, estuarine, dataran
lumpur dan lain-lain) yang merupakan habitat untuk berbagai jenis makhluk hidup atau organisme.
Unik, Rawan dan Penting

Nyoman mengatakan bahwa ekosistem hutan mangrove, memiliki karakterstik yang unik namun juga rapuh. Kawasan mangrove sangat penting dalam menjaga kawasan sekitarnya karena ia dapat mengikat lumpur sehingga mencegah abrasi pantai, mencegah intrusi air laut ke darat, melindungi garis pantai dan juga melindungi pemukiman di belakangnya dari terpaan gelombang dan badai. Contoh peran mangrove melindungi pemukiman dapat dilihat di Desa Tongke-Tongke, Kabupaten  Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Selain itu mangrove menjadi habitat berbagai satwa liar teresterial dan akuatik serta berfungsi sebagai tempat makan/berkembang biak/pemijahan biota perairan serta pengendali/mitigasi perubahan iklim (melalui kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon). Satwa liat itu seperti burung - burung air, mamalia (seperti biawak), berbagai jenis ikan. Keberadaan hutan mangrove yang sehat juga memberikan kemampuan adaptasi bagi kegiatan-kegiatan maupun fasilitas umum di sekitarnya, terhadap perubahan iklim.
Beberapa kajian tentang simpanan karbon di hutan mangrove yang telah dewasa (umur sekitar 15-20 tahun) menunjukkan ada sekitar 500 ton CO2 eq/ha (above ground) dan sekitar 80 – 100 ton CO2 eq pada sistem perakarannya. Nilai ini akan menjadi lebih besar lagi jika materi organik yang tidak terurai tersimpan pada lantai hutan mangrove juga diperhitungkan. 

Karena adanya alih fungsi mangrove oleh  manusia, kawasan hutan bakau Indonesia kini luasnya telah menurun drastis, dari 5,21 ha (1982-1987) menjadi 3,24 ha dan kemudian menjadi 2,5 juta ha pada tahun 1993. Alih fungsi tersebut di antaranya untuk lahan pertanian dan perikanan, pembangunan sarana dan prasarana publik, penebangan untuk arang dan diambil kayunya, dan lain-lain.  Selain itu, ekosistem ini juga mengalami berbagai tekanan lingkungan, misalnya dijadikan lokasi pembuangan limbah cair dan limbah padat, pemukiman, dan lain-lain.
Selain adanya alih fungsi dan tekanan lingkungan, eksositem mangrove (juga ekosistem pesisir lainnya) di Indonesia tengah mengalami tekanan oleh tingginya tingkat pemukiman di kawasan pesisir.  Sekitar 140 juta atau 60% dari total penduduk Indonesia  tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai dan tersebar di 42 kota dan 182 kabupaten.
Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan, kerusakan hutan mangrove di pesisir utara Jawa Bali mencapai 68 persen dari periode 1997-2003. Sebagai area pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan, mangrove memberi arti penting bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk itu Kiara juga mendesak pemerintah untuk menyegerakan upaya pemulihan kawasan pesisir.

Abdul Halim, Koordinator Program Kiara menyatakan, rusaknya ekosistem mangrove disebabkan oleh limbah antropogenik daratan di sekitar pantai, khususnya limbah industri. Juga akibat konversi lahan pantai untuk kepentingan industri, kawasan perniagaan, dan permukiman mewah. Buangan limbah yang kian masif ini berdampak pada hancurnya ekosistem mangrove dan kian sulitnya nelayan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. “Apalagi ada kenaikan TDL yang berdampak pada tingginya harga sembako,” katanya dalam siaran pers Juli lalu.

Menurutnya, hingga 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pemulihan kawasan pesisir seluas 1.440 hektar (ha) dari kerusakan lingkungan di sepanjang pantai nasional. Dari target 2014 seluas 1.440 ha, diharapkan capaian per tahunnya mencapai 401,7 persen.
“Besaran target yang dipatok harus dibarengi dengan kesungguhan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan program. Kesungguhan ini bisa diwujudkan jika program yang dijalankan tidak berpangku pada ketersediaan anggaran semata, melainkan pada tujuan mulia program, yakni mengembalikan fungsi-fungsi ekologis dan sosial ekosistem pesisir. Dalam kondisi inilah, partisipasi nelayan dan masyarakat pesisir penting untuk dilibatkan,” papar Halim.
Sementara itu dari data Wetlands Indonesia, kawasan mangrove yang relatif masih baik dapat dijumpai di Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan (Sumsel), sekitar 200.000 ha, meski saat ini perambahan untuk tambak juga sudah cukup banyak di bagian bufferzonenya dekat pantai.

Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0328&ikey=1

Tahun Hutan 2011, Tingkatkan Kesadaran Menjaga Hutan

Ani Purwati
Peluncuran Tahun Hutan Internasional pada 2011 akan membantu meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan dan masyarakat umum mengenai pentingnya menjaga hutan dan ancaman utama yang dihadapi. Pada saat ini bisa memberikan kesempatan untuk berbagi kisah sukses tentang pendekatan yang menunjukkan hasil, dan untuk menyoroti peluang potensial untuk membalikkan tren  deforestasi dan degradasi hutan.
Demikian keterangan dari Center for International Forestry Research (CIFOR) melalui Nita Irawati Murjani, sebagai Regional Komunikasi CIFOR Asia di Bogor, Jawa Barat kepada beritabumi.or.id  (20/1).
Selain itu juga bisa meningkatkan upaya sesuai perjanjian dalam mekanisme REDD+ yang dicapai pada perundingan iklim PBB baru-baru ini di Meksiko, yang memberikan satu kesempatan dalam memobilisasi kemauan politik dan sarana keuangan untuk membantu pemerintah mengambil langkah-langkah yang serius untuk melindungi hutan tropis.
CIFOR bekerjasama dengan organisasi mitra, terutama di Collaborative Partnership on Forests (CPF - yang mencakup 14 organisasi internasional dengan mandat yang berkaitan dengan hutan), memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran selama berjalannya Tahun Hutan ini. CIFOR khususnya akan menjadi tuan rumah serangkaian acara yang memperhatikan berbagai aspek pengelolaan hutan, tantangan dan kesempatan dari perspektif organisasi penelitian.
Sebagai contoh, di sela-sela Konferensi Biennial ke-13, Asosiasi Internasional untuk Studi Commons, yang berlangsung di Hyderabad, India minggu depan, CIFOR akan menyampaikan sebuah seminar tentang tata-kelola hutan.
Kami akan mengadakan acara serupa sepanjang tahun dan memuncak pada 5 Hari Hutan oleh CPF-dalam kaitannya dengan perundingan iklim PBB berikutnya di Durban pada bulan Desember,” demikian dalam keterangan CIFOR.
Sejumlah negara yang merupakan rumah bagi hutan tropis penting, termasuk Indonesia, Brazil dan Meksiko telah melangkah maju dengan membuat beberapa komitmen mengurangi deforestasi dan sedang dalam proses mengembangkan rencana nasional dan kebijakan untuk melaksanakannya. Sebagai contoh, Indonesia telah mengupayakan tugas untuk mengembangkan dan menerapkan strategi nasional REDD +.
Dalam ekonomi politik biasanya dari sektor kehutanan di banyak negara, inisiatif seperti ini memerlukan risiko politik dan finansial yang signifikan bagi pemerintah yang melaksanakannya. Peluncuran Tahun Hutan Internasional menyediakan platform bagi masyarakat internasional untuk mendukung komitmen mereka, dan memperkuat pesan bahwa pemerintah telah membuat pilihan yang tepat.
Komitmen dan Moratorium
Menurut Berry Nahdian Furqan sebagai Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta (19/1), peluncuran Tahun Hutan Internasional pada 2011 ini bisa memicu semua orang untuk berkomitmen menyelamatkan hutan. Bahwa masih ada hutan yang tersisa dan harus diselamatkan. Ada hutan yang sudah kritis perlu dihutankan kembali.                          
“Ini upaya baik untuk memicu komitmen menyelamatkan hutan, tapi bukan berarti tidak ada masalah dengan hutan kita,” kata Berry.
Untuk bisa memenuhi Tahun hutan Internasional ini, Indonesia harus bisa tegas dalam pengelolaan dan pelestarian hutan. Moratorium logging (jeda tebang) harus mulai dari sekarang, tidak ada jalan lain. Dengan moratorium itu berarti member ruang pada hutan untuk bernafas baik secara ekologi maupun politik. Untuk ekologi berarti memperbaiki ekosistem dan politik berarti member ruang kepada kita semua untuk mereview kebijakan yang carut marut dan sampai saat ini belum diselesaikan.
“Jadi moratorium tidak terbatas waktu tapi prasyarat dan indicator yang harus dipenuhi. Indikator misalnya laju deforestasi berkurang, selesainya tata batas hutan, selesainya konflik lahan di kehutanan dan banyak yang harus dilakukan lainnya,” jelas Berry.
Tanpa moratorium, keinginan untuk memperbaiki hutan kita tidak bisa dilakukan. Sulit karena sangat carut marut, masalah tata ruang, konflik kepentingan tata batas hutan juga masih banyak yang belum selesai.
Secara formal CIFOR dan IUCN bersama lembaga dunia di bidang hutan dan keanekaragaman hayati lainnya meluncurkan Tahun Hutan Internasional 2011 dalam pertemuan Forum Hutan PBB (UN Forum on Forests - UNFF) yang berlangsung di New York, pada 24 Januari – 4 Februari 2011.
Sumber Terkait:
 
Berita Terkait:
 
Postingan Lebih Baru Beranda

Jurnal Ilmu Kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol. 3 (1) , 2009
Vol:Vol. 3 (1)

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol. 3 (2) , 2009
Vol:Vol. 3 (2)

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Eny Faridah / Fak. Kehutanan UGM / 14 (1) , 2010
Vol:14 (1) subyek:Kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Faridah, Eny / Fak. Kehutanan UGM / vol 4 (2) 2010, 2010
Vol:vol 4 (2) 2010 subyek:kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Widyorini, Ragil / Fak. Kehutanan UGM / vol 5 (1) 2011 , 2011
Vol:vol 5 (1) 2011 subyek:kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol II, III, IV, 2008, 2009, 2010
Vol:Vol II, III, IV subyek:Kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan
Pengarang: Ragil Widyorini / Fak. Kehutanan UGM / v.5,n.2, JUli-September 2011, 2011
Vol:v.5,n.2, JUli-September 2011 subyek:Kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan (jilid)
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol. 1 (1-2), 2007
Vol:Vol. 1 (1-2)

Jurnal Ilmu Kehutanan (Jilid)
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol. 1-3(1-2), 2007-2009
Vol:Vol. 1-3(1-2) subyek:Kehutanan

Jurnal Ilmu Kehutanan (sudah dibendel)
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol. 1 (1), 2007
Vol:Vol. 1 (1)

Jurnal Ilmu Kehutanan (sudah dibendel)
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol.1 (2), 2007
Vol:Vol.1 (2)

Jurnal Ilmu Kehutanan (sudah dibendel)
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan UGM / Vol.2 (1), 2008
Vol:Vol.2 (1)


Jurnal Ilmu Kehutanan (sudah dibendel)
Pengarang: Eny Faridah / Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada / Vol. 2(2), 2008
Vol:Vol. 2(

Prosiding

Pemanfaatan Kayu Hutan Tanaman Industri (HTI) Untuk Pembuatan Medium Density Fibreboard (MDF)
Pengarang: Antono, Bambang S / Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan, 2011
subyek:Kayu

Rehabilitasi Mangrove Pada Tapak-Tapak Yang Khusus
Pengarang: Cecep Kusmana / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Silvikultur

Rehabilitasi Hutan Di Perum Perhutani
Pengarang: Haryono Kusuma / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Silvikultur

Prinsip Silvikultur Reforestasi Dalam Rehabilitasi Dalam Rehabilisi Formasi Gumuk Pasir Di Kawasan Pantai Kebumen
Pengarang: Sumardi / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Silvikultur

Klasifikasi Kemampuan Penggunaan Lahan Untuk Penentuan Silvikultur Rehabilitasi
Pengarang: C Nugroho Sulistyo Priyono / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Silvikulture

Pengaruh Pengemasan Dan Lama Penyimpanan Bahan Stek Tiga Jenis Meranti Merah Terhadap Persentase Berakar Stek Di Rumah Kaca
Pengarang: R Mulyana Omon / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Silvikultur

Seleksi Pohon Plus Merbau (Intsia bijuga (colebr) O Kuntze) Pada Beberapa Sebaran Alaminya di Papua Dan Maluku
Pengarang: Sapto Indrioko / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Silvikultur

Tantangan Rimbawan Dalam Meningkatkan Produktifitas Tegakan Pohon Di Lahan Milik
Pengarang: Hary Santoso / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Satu Dasawarsa INAFE: Pendidikan Agroforestri Jembatan Antara Pertanian Dan Kehutanan
Pengarang: Widianto / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Peran perhutani Dalam mendukung Sistem Kehidupan Di Pulau jawa
Pengarang: Haryono Kusuma / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas hutan

Peranan Perhutani Dalam Mendukung Sistem Kehidupan Di Pulau Jawa
Pengarang: Haryono Kusuma / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Sertifikasi Hutan : Sebuah Upaya Meneuju Pengelolaan Hutan Lestari
Pengarang: Silvi Nur Oktalina / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Silvikultur Intensif (Silin) Meranti Di PT Sari Bumi Kusuma
Pengarang: Widiyanto / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan


Potensi Penggunaan Musuh alami Dalam Pengendalian Hama Hutan Tanaman Di Indonesia
Pengarang: Musyafa / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Kerusakan Tajuk Hutan Jati Oleh Hama Ulat Jati (hyblaea puera cramer) Di KPH Ngawi
Pengarang: Enggar Apriyanto / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Ancaman Hama Kepik Renda Tingis beesoni (Hemiptera: Tingidae) Pada Tanaman Gmelia arborea di Indonesia
Pengarang: Pujo Sumantoro / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Adaptabilitas Dan Pertumbuhan Tiga Jenis Tengkawang Di Lahan Rawa Gambut PT Inhutani II Unit Kalimantan Barat
Pengarang: Sapto Indrioko / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Pertumbuhan Awal Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrnops sp.) Asal Nusa Tenggara Barat di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan
Pengarang: Syamsudin Millang / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Pengembangan Aren (Arengga pinnata Merr) Melalui Teknik Skarifikasi Dan Stratifikasi Dalam Mendukung Konservasi Hutan
Pengarang: Rosi Widarawati / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan

Karakteristik Dan Daya Perkecambahan Biji Pada berbagai Jenis Famili Fabaceae Koleksi Kebun Raya Cibodas
Pengarang: Indriani Ekasari / Fakultas Kehutanan UGM, 2011
subyek:Manajemen produktivitas Hutan



jurnal science Direct

PENGUMUMAN

Perpustakaan Tutup/ Libur Tanggal 9 Mei 2013 dikarenakan libur nasional kenaikan yesus kristusdan tanggal 31 Mei dikarenakan Jum'at Terakhir untuk pembenahan pustaka

KATALOG

Simple Digital Library System

e-book

I - Library

blog perpustakaan fkt ugm

Total Pageviews

Artikelperpustakaanfktugm. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

 

PELAYANAN

Pelayanan Perpustakaan Senin s/d Kamis buka Jam 08.00 - 15.30 wib sedangkan hari jum'at buka jam 08.00 - 14.30 wib. untuk jum'at terakhir perpustakaan tutup
Mau buat buku tamu ini ? Klik di sini
Widget edited by super-bee

HEADLINE

Live Trafic Feed

Followers

 

Random Template

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger